Dua Cincin Satu Cinta

Dinda,

Aku mematut diri di cermin, pantulan wajah merona hadir di sana. Apalagi sebuah cincin terpatri manis di jari manisku. Aku mencium cincin itu berkali-kali. cincin yang telah menjadi pengikat antara aku dan dia, simbol cinta kami yang abadi yang akan berlabuh disinggasana perkawinan.

Cincin itu sebenarnya adalah sebuah cincin emas sedarhana, dengan motif bulat dan ditengahnya ada sebuah permata kecil. Itulah ikatan yang akan kami abadikan, sederhana namun segudang makna. Seperti hari-hari yang kami lalui bersama, suka dan duka adalah biasa karena berdua. Namun, sebentuk keraguan adalah pertanda bahwa hari esok akan lebih sulit dari hari ini dan hanya cinta yang mampu membawa dua hati pada tautan takdir dan bahagia.

Pada cincin di jari manis aku berkeluh kesah, Aringga Pradibyo, laki-laki gagah yang karismatik itu meminangku beberapa minggu yang lalu. Ia ingin kami menghabiskan hari tua bersama, mengeja hari dalam khayalan akan sebuah keluarga yang bahagia. Tak ada kata ketika Aringga memintaku, aku tak punya pembendaharaan kata untuk menolak ataupun menerimanya. Segalanya terasa bagai mimpi yang tiba-tiba menghampiri.

Dia memahami kekagetanku dan ia memberi waktu satu minggu untuk menjawab semuanya. Sebenarnya hanya jawaban iya yang tersedia di hati dan pikiranku. Namun, aku tidak ingin terburu-buru. Ini bukan hal main-main dan ini sangat penting untuk hidupku ke depan. Aku benamkan diri pada pemikiran yang akan memberi petunjuk jawaban, walau aku ingin sekali menjawab aku bersedia.

Ada setitik ragu padanya, aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu. Kami teman sekantor, ia pindahan dari Padang. Pertama berkenalan ia telah menyedot perhatian dan sebuah cinta di hatiku. Aku hanya tidak bisa berkata dengan jujur bahwa ia laki-laki yang aku idamkan selama ini. Perkenalan dan perjalanan waktu membuat kami semakin dekat dan berujung pada sebuah kisah yang mewarnai hari. Ia benar-benar sempurna.

Tapi, sampai detik ini aku masih ragu apa benar ia yang akan jadi jodohku, aku tidak mengenal masa lalunya, keluarganya, temannya atau mungkin pacarnya. Bagaimana mungkin aku bisa menghabiskan hidup dengan seseorang yang tidak aku kenal dengan baik. Ketika aku bertanya pada Wina, temanku. Ia hanya menimpalinya dengan santai

“Untuk apa mengenal masa lalunya, yang penting ia sekarang ada untuk kamu Din”

Aku tidak begitu setuju dengan pendapat Wina, bagiku penting sekali mengenal background orang yang kita sayangi agar kita bisa menmpatkan diri pada posisi yang semestinya.

Waktu seminggu itu berlalu, kecamuk ragu itu masih ada. Aku tidak ingin egois dan demi tekanan-tekanan mama, Wina dan adik-adikku, aku akan mengambil keputusan yang terbaik. Dan malam ini aku telah siap untuk suatu hal penting itu.

“Aku bersedia Ringga”ujarku dengan suara yang bergejolak

Aku merasa sekian ton beban terlepas dari pundakku, aku merasa bebas. Aku telah mengambil keputusan yang menurutku terbaik, hanya hatiku yang memahami dengan pasti bahwa aku ingin berbagi hidup dengan pria mapan yang di usia mudanya telah menjadi seorang yang sukses itu. Dan memang tidak ada kata yang akan membuatku mundur, aku akan urai harinya berdua dengan belahan jiwaku itu.

Bunda hanya tersenyum ketika keputusan itu aku ambil, binar bahagia dalam tatapan bunda adalah kekuatan yang membuatku makin kuat melangkah.

“Semoga kamu bahagia Nak, hidup adalah perjuangan untuk memperoleh yang terbaik dan memilih yang tepat”ujar bunda sambil tersenyum.

Betapapun galau itu masih ada, hari-hari ke depan adalah tekanan yang tidak akan berkurang. aku akan menghadapi semua dengan kekuatan hati yang tidak seorangpun mampu menggoyahkan keyakinanku, keyakinan pada cinta dan kasih Aringga, walau semuanya masih sangat samar-samar. kami memang baru bertunangan, masih ada jeda sebelum hari bersejarah itu tergelar, aku sangat yakin godaan itu akan semakin gencar merongrong pertahanaku. Namun, jika Ringga di sisiku, tak seorang pun mampu meruntuhkan semuaku.

Aringga Pradibyo,

Aku menghempaskan tubuh ke kasur, memijit kepala yang terasa mumet. Mengapa aku sedemikian bodoh mengambil keputusan yang tidak main-main itu. Pertaruhan hati dan hidup bagi seseorang.

Awalnya aku hanya bercanda ingin meminangnya, aku memang mengganggap semua hal ringan.Ccincin itupun sebenarnya bukan untuknya. Aku hanya ingin mempraktekkan sebelum aku melamar gadis pujaanku di kotaku sana. Sekarang aku mengerti, tidak semua bisa dibuat main-main. Keinginanku yang hanya sekedar bercanda dan menjalin kasih dengannya sebagai pelipur sepiku di kota metropolitan ini telah berujung musibah. Bagimana tidak, ia menganggapku adalah laki-laki yang akan menemani hidupnya dan cincin yang kuberikan itu telah ia anggap sebagai bukti keseriusanku dengannya.

Aku sungguh pusing, memang tidak ada yang salah dengannya. Ia cantik, terpelajar dan dewasa. Tak ada lagi yang membuat laki-laki mundur untuk meminangnya. Yang anehnya aku hanya bermaksud main-main dengannya, ia hanya pelarianku atas kesepian itu. Tak kusangka ia akan menanggapi sedemikian serius.

Ini salahku, dan memang salahku. Tidak satu kalimatpun yang akan membebaskaku dari rasa bersalah itu, aku yang telah bermain api dan aku pula yang akan terbakar. Dan api itu sebentar lagi akan membakarku hidup-hidup.

Aku ingin merengkuhnya dan menjamah mimpi yang ia rangkai untuk kami berdua, ingin sekali aku melakukan itu, setidaknya untuk menghapus rasa bersalahku. Tapi, ada satu hati lagi yang menungguku dengan harapan yang sama, harapan menjalani hidup bersamaku. Dan tidak mungkin aku akan abaikan dia, ia telah hadir dalam nadi hidupku. Tak mungkin aku bisa melepaskannya dan tidak akan pernah aku lepaskan.

Biarlah semua berjalan apa-adanya, biarlah Tuhan yang akan menuntunku pada hati yang tepat, dia atau dia, atau tidak diantara mereka sama sekali. Aku tidak kuat memikirkan semuanya. Akulah laki-laki brengsek yang lahir di zamanku. Mempermainku hati dua wanita yang mengharapkan satu cinta dan akulah biang kerok penderitaan yang tercipta.

Aku memejamkan mata mencoba menghalau sejenak bayangan mereka dan masalah itu, aku ingin istirahat.

Ketika mataku mulai akan terpejam, sebuah pemikiran membuatku terjaga. Keputusan yang akan menentukan semuanya.

“Aku akan pulang ke kotaku besok”

Aku harus hadapi semuanya, demi cinta siapapun yang akan menemaniku kelak. Akulah pejuang yang entah pantas disebut pahlawan atau tidak, pejuang yang telah melukai hati-hati pecinta.

Arumi,

Dia pulang, sebuah kabar gembira setelah hampir 1 tahun lebih terpisah. Kami berpacaran, tapi beberapa bulan ini komunikasi kami nyaris terputus. Aku hanya merasa ia belum pernah mengutarakan kata putus itu, makanya aku masih beranggapan bahwa kami pacaran. Kendala komuniikasi bukanlah hal yang terlalu aku takutkan, aku percaya dan sangat percaya padanya. Aku masih ingat dengan jelas janji yang ia ia ucapkan sebelum keberangkatan itu.

“Rum, sejauh apaun kita terpisah, kita akan selalu bersama. Bahkan aku sangat yakin kita akan bersatu dalam perkawinan, yakinlah aku akan melamarmu kelak”

Janji yang membuat Arumi kuat dalam melangkah, ia maknai hari dengan harapan bahwa ia memang akan berjodoh dengan cowok itu.

Dan hari itu datang, cowok itu telah kembali dengan janjinya, membawanya pada puncak bahagia.

“Maukah kau jadi istriku”tanya cowok itu

Akhirnya ia dengarkan juga kalimat itu, kalimat yang sudah terlalu lama ingin didengarnya.

Ia mengangguk, melawan debar di dadanya, ia bahagia

Kamu yakin”tanya cowok itu

“Aku yakin Aringga Pradibyo”jawab Arumi mantap

Tak ada kata, Aringga menelan ludah. Ia telah membuka lubang luka mengangah untuk sebuah hati dan membuka bahagia untuk hati yang lain. Ia tak mengerti langkahnya direstui atau tidak, itulah pilihannya dan ia telah melukai seseorang untuk pilihan itu. Ini hidupnya, hidup yang tidak ia mengerti dengan baik. Dan akan dihadapinya jalan berliku di depan mata yang kini menghadangnya. Ia yang membuat masalah ini dan ia pula yang harus menyelesaikannnya.

Langit tiba-tiba kelam, mendung mengantung dan rintik hujan siap menjatuhi bumi. Telah ada dua cincin di jari dua wanita dengan satu cinta yang sama.

Koto padang, Dharmasraya. penghujung tahun penuh hujan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etalase cinta Muni dan Ibu

Just friend

kerinduan pada damai