Bunda, bulan!

Bulan itu selalu misteri bagi Moura, berapa kali ia mencoba memahami kehadiran bulan. Namun, tak pernah secara pasti ia mampu menerangkan makna bulan pada seseorang. Dia akan kembali terguguh menikmati bulan, tak ada kata hanya senyap. Udara permainkan poninya. Membelai kulitnya dalam romansa canda. Sensasi itu selalu ia rasakan, tatkala ia melihat bulan bersinar terang di langit sana.

“Apa mungkin bulan itu mengerti perasaanku”pikirnya

Memang pernah terpikirkan hal itu olehnya. Bulan begitu memahaminya. Ketika gelap malam mulai menyapa, bulan hadir sebagai cahaya. Melibas bumi dalam indah cahayanya. Semua akan terpana, itu pasti.

Terlebih, Moura merasa keterikatan dirinya dengan bulan. Bulan begitu mencurahkan kasihnya pada Moura. Ketika semua orang tak menolehnya, bulan akan menggapainya dalam damai. Seperti malam itu, ketika Ayahnya, boleh jadi bukan Ayahnya, menyiksanya lagi, entah untuk ke berapa kalinya. Melumuri punggungnya dengan pukulan cambuk, menghasilkan garis-garis panjang seperti habis kerokan. Ia tidak akan meronta, walau mampu. Baginya hukuman Ayah adalah rutinitas yang akan dijalaninya, walau sakit, ia telah terbiasa dengan semua itu.

Pertama kali Ayah lakukan pencambukan sebagai hukuman ia pernah meronta, memohon Ayah menghentikannya. Namun, Ayah tak pernah mendengarkan malah semakin menjadi mencambuknya. Sejak itu, Moura tahu, ketika Ayah mencambuknya hanya ada satu hal yang bisa dilakukannya, menerimanya. Hanya itu, tidak lebih.

Moura pernah menyesali semua, mengapa ia harus memiliki Ayah seorang yang bengis seperti Ayahnya. Kesalahan sekecil apapun, akan tetap melahirkan hukuman, seperti ketika ia lupa meletakkan buku pada tempat yang tepat. Ayah akan mencambuknya. Seakan Ayah tidak akan tenang jika tidak mencambuknya dalam sehari.

Tubuh ringkihnya, memang pastas ringkih karena tidak pernah mendapatkan asupan gizi yang tepat. Makanannya hanya makanan sisa, itu pun jika Ayah bersedia memberikan padanya. Ia terima semua dalam doa yang tak putus. Mengapa Ayah begitu kejam padanya, seakan ia bukan anak dari lelaki itu, atau mungkin ia memang bukan anak Ayah”sebersit prasangka itu pernah menyapanya.

Perlakuan kasar Ayah telah menjauhkan Moura dari segalanya. Teman, hobi, lingkungan, bahkan juga hidup. Moura hanya berdiam diri di kamar. Menyapa dunia dalam diam, sambil berharap cemas, cambukan Ayah hari ini tidak akan begitu keras, sehingga punggungnya yang kemari sakit, tidak akan terasa sakit lagi.

Satu-satunya hiburan yang dimiliki Moura dalam hidupnya adalah bulan. Pada bulan ia tumpahkan segalanya. Hanya bulan temannya, yang memahami dan mengerti kepedihan dan deritanya. Maka ketika malam tiba, saat Ayah pergi bergagah-gagahan ke meja judi, ia mulai memanjat atap rumahnya. Ia ingin lebih dekat dengan bulan, ingin ada dalam dekapan bulan.

“Bulan pagi tadi Ayah memukulku lagi. sakit sekali rasanya punggung, seakan tulangku telah retak-retak karena cambukkan Ayah”ujarnya pilu sambil mengangkat bajunya yang bagian belakang, seakan memamerkan betapa ia menderita karena Ayah.

Dan sesuatu yang membuat Moura yakin, bulan memahami deritanya adalah ketika ia menggangkat baju bagian belakangnya, ia akan merasakan helusan dan belaian lembut itu menyapanya, menghembus luka-luka di punggungnya. Ia nikmati perhatian bulan, sama ketika Bunda masih ada. Ia akan lakukan hal yang sama seperti yang bulan lakukan sekarang,

“Bulan terima kasih telah memahamiku, kau menyanyayangiku seperti Bunda, maka malam inipun aku ingin kau menggantikan Bunda dalam hidupku. Aku hanya punya ku dalam hidup ini bulan, jangan pernah khianti aku seperti Ayah menyakitiku”

Tangisnya tumpah, bulan bersinar cerah. Helusan angin di punggungnya ia rasakan semakin lembut. Ia memaknai sesuatu

“Kau menyetujuinya bulan”helusan semakin lembut membelai lukanya

“Hore sekarang aku punya Bunda, dan bulan kaulah Bundaku sekarang” ia girang bukan main.

Malam telah merangkak naik. Namun, Moura juga belum puas bercanda dengan Bundanya yang baru. Ia terus bercerita. Apa saja. Ia tahu bulan tidak akan pernah bosan akan kecerewetannya. Ia terus bercerita, sampai ia tertidur di atap, dalam dekapn bulan yang terus berusaha menyinarinya. Insan kecil yang malang itu.

q

Kokok ayam, bangunkan matahari dari peraduannya. Lambat sekali ia merangkaki bumi. Seakan takut mengganggu mimpi indah yang baru menjelaga. Ia takut akan menyaksikan derita lagi pada hari ini, tapi matahari terus juga menyapa lembut. Sampai pipi mungil itu rasakan kehangatan, ia mengerjapkan mata. Memandang ramah pada matahari.

“Terima kasih telah membangunkanku. Pasti Bunda yang menyuruhmu bukan?”ujranya Moura pada matahari.

Dengan langkah kaki ringan dan riang, ia turuni atap dengan lincah. Ia akan menghadapi hari ini apapun yang terjadi. Ia bahagia semalam Bunda bulannya, telah memeluknya, menina bobokkannya, dan menjalinkan sebuah mimpi yang sungguh indah.

Ketika kakinya kembali menggapai lantai rumah. Sesosok wajah angker telah ada di sana menghadangnya. Ia tersenyum pada Ayah yang nampak kusut dan masih bau alkohol. Itu pemandangan paginya yang biasa. Tapi ia heran mengapa Ayah selalu bangun lebih pagi darinya, padahal yang dilihatnya dalam TV, seorang pemabuk seperti Ayah akan bangun lebih siang. Tapi Ayahnya tidak.

“Moura, kemana kamu semalam, anak jalang”sapaan itu sungguh sangat biasa di telinganya

“Di atas atap Ayah”jawabnya dengan jawaban yang juga biasa

“Sudah berapa kali Ayah bilang, kau tidak Ayah izinkan naik ke atap. Tapi, kau tetap juga melanggar. “Dasar anak nakal” Ayah masih dengan tatapan garang seakan hendak menelan Moura hidup-hidup.

“Sudah sering Ayah”jawabnya tak kalah berani

Ayah terhenyak mendapatkan jawaban Moura yang tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang telah berubah dengan anaknya. Tapi, ia tidak tahu apa. Kemarahannya memuncak lagi. cambukkan dipegangnya erat-erat

Melihat gerakan tangan Ayahnya, Moura dengan segera membalikkan badan, seperti terdakwa yang siap jalani hukuman. Ayahnya tahu ini juga tidak biasa, Moura yang berbeda. Namun, amarahnya telah kalahkan akal sehatnya.

Ia cambuki Moura seperti kesetanan, tak peduli anak perempuan kecilnya itu akan merasakan sakit yang luar biasa. Ia merasakan sensasi kepuasan, ketika mencambuki Moura. Ada bayangan Lestari, istrinya yang biadab itu, pada gadis mungil Moura. Ia akan mencambuki sampai ia merasa, hutang sakit hatinya terhadap Lestari sirna.

Moura mengerang pelan, ketika cambukan demi cambukan tidak juga berhenti. Ia berusaha kuat, tidak menangis dan tidak berteriak.

Setelah kelelahan menyerangnya, Ayah Moura berhenti. Menatap punggung putrinya yang telah memerah, ia hanya tertegun sejenak,

“Mengapa tidak menangis”tanyanya gusar melihat Moura seakan tidak merasakan sakit

“Tidak perlu Ayah, menangis akan membuat aku lemah. Lagi pula nanti malam lukaku ini, akan di obati Bunda”ujar Moura tersenyum tanpa makna.

Bunda, mendengar Moura mengeja nama itu. amarah Ayahnya kembali memuncak. Memukulinya lagi

“Siapa Bundamu, siap orang yang berani mengaku sebagai Bundamu”tanyanya sambil terus memukul, membabi buta.

Kali ini, Moura merasakan sakit yang bukan alang kepalang. Ia tak mampu lagi tegar. Dalam rauangan kesakitan, ia jawab juga pertanyaan Ayahnya

“Bulan Ayah, Bulan yang menjadi Bundaku sekarang”airmatanya luluh. Ia sakit, dan ia tidak bisa menahan airmatanya jatuh.

Mendengar bulan, tangan Ayah menggigil. Ia memandang nanar pada Moura. Melihat dengan mata selidik penuh curiga.

“Apa katamu, ..bulan?”Ayah sangsi

“Ya Ayah, sekarang aku punya Bunda. Jika Ayah tak lagi sayang padaku. Aku akan ikut dengan bulan. Ia sayang aku Ayah,”ujar Moura sesungukkan

Ayah masih tak berkedip. Memastikan pendengarannyanya, dan akhirnya..

“Kau gila, Moura. Dasar anak jalang dan biadab. Bisanya menyusahkan saja” ia berlalu membawa cambuk ditangannya.

Moura berusaha berdiri, menatap kepergian Ayahnya. Ia merasakan ngilu yang tidak tertahan. Ia berseru..

“Aku akan ikut bulan Ayah, hanya dia yang sayang padaku. Dan jangan pernah Tanya aku lagi, aku akan pergi jauh”

Ayah tetap tidak peduli. Namun, ia sahuti juga seruan Moura

“Terserah kau saja anak gila”ia benar pergi, meninggalkan Moura. Tanpa mandi.

Moura berjalan ke kamar, mencoba meregangkan tulang punggunya yang terasa kelu dan hancur. Ia kuatkan hati. Ia akan mengadu pada bulan. Malam ini, ia akan paksa bulan membawanya. Ia hanya ingin ada dalam dekapan bulan, selamanya.

q

Akhirnya siang mengalah juga pada malam, ia harus kembali dan malam akan bertugas menggantikan kedudukanya. Ia menyapa jagat raya dalam kemilau bintang dan sinar bulan yang terang benderang.

Moura telah sejak tadi ada di atap rumah, menunggu bulan datang. Terlalu banyak yang ingin ia ceritakan pada bulan. Terlalu banyak hal yang telah membuatnya menderita begini.

Ketika bulan muncul. Ia tersenyum

“Bunda, ini anakmu. Aku ingin kau membawaku. Aku tidak sanggup lagi hidup dengan Ayah. Ia membenciku. Bawalah aku Bunda”ujarnya memohon pada Bulan

Imajinasinya telah melayang, menghadirkan sosok lembut yang pengasih sedang berjalan mendekatinya, memeluknya. Ia menunggu dalam harap. Ia ingin pergi bersama bulan

Di tatapinya bulan yang belum memberinya keputusan. Ia terus berharap

“Aku yakin dengan keputusanku Bunda. Aku hanya ingin ikut denganmu”ia bersikukuh.

Lagi, ia merasakan bulan angguki permintaannya. Ia melonjak senang. Mengikuti bulan, terus berjalan, mengawang di udara. Ia menyadari ia telah terbang meninggalkan bumi. Raganya begitu ringan seperti kupu-kupu. Ia terus ikuti, sampai…

“Brukkk” sesosok remaja kecil itu, melayang jatuh membentur batu. Kepalanya berdarah. Nyawa telah berpisah dari raganya. Akhirnya, Moura mengikuti Bundanya, Bulan telah membawa semua derita gadis malang itu.

q

Malam temaram dalam sinar rembulan. Semua bocah bermain senang di halaman rumah, menyambut kebaikan bulan yang menemani malam mereka. Teriakan-teriakan dan tepuk tangan gembira mereka, telah menjadikan bulan bermakna.

Tapi di sudut sepi jalanan. Seorang laki-laki tua sedang menangis terseduh-seduh. Menggapaikan tangannya ke langit, tak lama setelah itu, ia melakukan gerakan seakan sedang menimang-nimang anak. Tapi, tak lama berselang ia kembali mengacungkan tanganya ke langit, sambil berteriak

“Bulan, kau telah mencuri anakku. Kau telah menyembunyikannya dalam perutmu. Mengapa kau ambil anakku, hanya ia satu-satunya yang aku miliki. Aku tidak membencinya. Aku hanya membenci Ibunya.”ia berteriak sebentar, menangis sebentar kemudian, lalu ia akan tertawa.

“Kau, pencuri bulan. Tak kan kuampuni kau”lagi-lagi ia berteriak garang ke langit. Suaranya memekakkan telinga, memenuhi udara, tak lama menguap tanpa makna, dan mengelembung menjadi k e sia-sia an.

Padang, September 2008.

telah diterbitkan di harian singgalang, padang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etalase cinta Muni dan Ibu

Just friend

kerinduan pada damai