Etalase cinta Muni dan Ibu

Hujan mengguyur bumi dengan rintik yang malas, menghasilkan irama jejak yang mendayu. Guntur sapa menyapa dari ujung langit, hitam menggantung di langit.

Pagi yang sedih, muram dan durja. Tangisan itu memanggil menyayat hati yang mendengarnya. Memiluhkan, menghasilkan bait-bait kehilangan, ketidak relaan dan kegamangan. Semua menyatu dalam dekapan doa tangan-tangan yang gigil atas kehilangan.

Muni memandang nanar pada karangan-karangan bunga yang berjejer sebelum pintu masuk rumahnya. Ia memohon, ia hanya bermimpi melihat karangan bunga itu. Karangan bunga dan berita duka adalah dua hal yang sangat ditakutkan Muni. Dan hari ini, ia mendapati jejeran karangan bunga itu. Ingin rasanya, ia berteriak. Memohon Tuhan tidak melakukan semua itu padanya.

Tapi, tubuhnya meluruh, tungkainya menggigil ketika melihat wajah pias tak berdayah Bunda yang terbujur kaku di tengah rumah.

“Bunda” teriaknya

Inikah arti firasatnya semalamnya. HPnya yang tiba-tiba berdering dan pemberitahuan Bunda yang sedang sakit. Muni memeluk lututnya. Airmata itu telah mencari alirannya. Menghasilkan linangan yang panjang.

“Bunda mengapa tidak menunggu Muni pulang”isaknya

Ia menatap wajah tua itu, sebentuk senyum mengembang di bibir yang telah berwarna putih. Ia memeluk bunda, mencium wajah yang terasa dingin Ia menangis dalam.

“Sudah Mun” hibur orang-orang.

Ia mengkerut kesal, apanya yang sudah. Ibunya meninggalkan dia sebatang kara di dunia ini. Dan kata sudah sungguh menyakitkannya. Tidak semudah itu, pikirnya.

Ia hanya menatap orang-orang itu dengan pandangan yang ia mengerti sendiri. Sulit berbagi ketika jiwa dipenuhi rasa kecewa dan sakit yang menyesakkan. Tidak akan ada yang persis sama mampu merasai derita hatinya.

Ia hadiri pemakaman itu dalam diam seribu bahasa. Ia tidak ingin mengurai rasa kehilangannya dengan kata. Mengeluarkan kata hanya akan membuatnya terlihat lemah. Ia hanya perlu bunda tahu bahwa ia punya cinta berlimpah untuk bunda. Langit akan memahami, malaikat akan tahu, bahkan tanah yang menampung kehadiran bunda akan mengerti bunda punya cinta dari Muni. Semua sudah cukup.

Pemakaman itu usai, pelayat mulai pergi. Muni menggenggam tanah merah itu. Ada jasad bunda terkandung di sana. Dan mulai hari ini, tanah itu telah mengambil semua milik Muni. Cinta bunda untuknya. Ia mengerjap menahan airmata, setitik airmata cukup menandakan ia takut menghadapi hari yang akan datang.

Guntur menggelegar, awan hitam menggelayut. Hujan akan turun mengiringi langkah bunda ke alam lain. Muni masih terpaku di tanah merah itu, tanpa peduli hujan akan mengguyur bumi, tanpa peduli petir menyambar di sana- sini.

Ia hanya butuh di sini, sampai yakin ia mampu menghadapi hari tanpa Bunda.

Suasana senyap memaksa otaknya mengingat kenangan yang menimbulkan sensasi rindu yang tidak teraba.

“Mun, besok Bunda buatkan sup kesukaanmu”

“Mun, jika kelak kau berumah tangga. Apakah masih akan sayang Bunda”

“Mun, jika kau punya anak jangan berhenti menyayangi bunda ya. Bunda hanya punya kamu”

“Mun, besok kita jalan-jalan ke Jakarta ya. Ibu kangen sama Tante Titi”

Atau kalimat-kalimat yang terucap dari bibirnya, atas nama sebuah harapan. Mengurai harinya dan bunda dalam tawa.

“Bun, jika aku sudah bekerja, gaji pertamaku khusus buat Bunda”

“Bun, aku beli kalung buat Bunda dari hasil honorku. Semoga bunda suka”

“Bun, aku suka cowok itu, boleh Bun”

“Bun, ada om-om yang naksir Bunda, gimana?”

Airmatanya meleleh lagi, ia ingat ekspresi malu-malu Bunda ketika om Heri dengan terang-terangan menyatakan cinta pada Bunda di depan Muni, atau ketika Bunda kepergok sedang mencium potret Ayah. Muni mengingat semuanya, dan ia rindu dekapan hangat Bunda. Ia ingat kecupan lembut bunda.

Tak ada kata yang mampu melukiskan hidup yang dijalaninya dengan bunda. Bunda orang tua tunggal, Ayahnya telah meninggal ketika Muni berumur 12 tahun. Mereka jalani hari dalam tawa yang tiada henti, bersedih bersama, berbagi rasa, menawarkan warna dalam hidup Muni.

Bunda begitu sempurna menjadi orang tua tunggal. Muni tidak pernah merasa kesepian. Ia memang kadang-kadang rindu pada sosok Ayah, tapi Bunda selalu menawarkan cerita lain, merangkai masa dalam birunya dunia Muni.

Hujan telah mengguyur bumi, bersedih atas kehilangan seorang wanita perkasa, seperti kesedihan Muni kehilangan seorang sangat berarti dalam hidupnya.

Lolongan anjing terdengar memiluhkan di tengah rintik hujan, Muni masih bertahan di dekat tanah merah ini. Ia akan menemani Bunda, ia tidak akan pergi meninggalkan Bunda. Ia memegang dada, rasa sakit memang tidak bisa diterjemahkan dalam kata, bentuk ataupun ruang. Abstrak.

“Bunda aku belum sempat berbakti,” jeritnya melawan hujan.

Udara berhenti berhembus, hujan meluruh ke bumi dan kilat masih menyambar dari kaki langit.

“Mengapa ambil Bundaku, Tuhan?,”ia berteriak, namun teriakkannya tertelan derasnya hujan.

Tubuhnya telah basah kuyup, kepalanya berdenyut. Ia tetap tidak ingin pulang. Ia ingin di sini. Selamanya.

Sampai sebuah tangan menggapainya dalam pelukan, pemilik payung biru itu telah sejak tadi memperhatikan Muni dari jauh. Ia tahu rasanya kehilangan, maka dibiarkan cewek itu, menumpahkan segalanya.

“Sudah cukup, mari kita pulang,” ujarnya.

Muni tidak meronta, ia merasa sudah cukup, walau tidak ada kata cukup untuk sakit di dadanya, ia mengikuti langkah kaki itu. Mereka tertelan oleh deras hujan dan desau angin.

Muni menyusuri setiap jengkal rumah, tempat-tempat yang pernah ia jalani bersama Bunda. Mencium setiap hal yang pernah dipegang bunda, di bagian yang ia yakin pernah disentuh tangan lembut Bunda. Ia hanya ingin merasakan kembali belaian jemari lembut itu.

Sudah 2 jam ia menjejali kenangannya dengan Bunda. Ia menatap kosong pada bungkusan yang di antar Dion di meja makan. Cowok itu baru dari rumahnya dan baru juga disuruhnya pulang. Ia hanya ingin sendiri menikmati kenangannya dengan Bunda.

Ia mencoba melogikakan semua. Menyadari setiap insan yang hidup pasti akan mati. Namun, ia tetap tidak mampu menerima kepergian Bunda. Mengapa harus Bunda? Mengapa harus secepat ini di saat ia belum bisa membuktikan apa-apa pada bunda? Mengapa tidak yang lain? Pertanyaan demi pertanyaan itu bergelayut di otaknya. Tidak ada kompromi untuk jawabannya, semua ketentuan Allah. Tapi, hatinya belum bisa menerima semua itu.

Ketika rasa di dadanya membuncah, sakit itu tidak tertahan. Hanya satu keinginan, ia ingin bersama bunda, selamanya. Ia mencari alasan untuk tetap bertahan. Langit tetap tak menjawab ketika beribu pertanyaan ia sodorkan, angin tetap berhembus ketika ia menanyakan bunda, pelangi tetap indah, walau hatinya berduka.

Maka ketika selingkungan pelangi menyapa langit, dan matahari mulai terbenam. Ia menyadari tak ada yang peduli pada rasa sakitnya, kalimat-kalimat hiburan itu adalah klise. Ucapan bela sungkawa itu palsu. Buktinya mereka hanya datang, mereka tidak merasakan sakitnya.

Sebuah keputusan membuatnya tersadar. Ia harus pergi, menggapai bunda. Tak ada kata, hanya rasa.

Langit sore itu berwarna keperak-perakan, pelangi mengantar indahnya sore. Angin bertiup lembut, menyapa hati dalam lamunan irama surga. Semua berbahagia dalam balutan kecerahan bumi.

Tapi, di sudut sempit sebuah dapur, seorang gadis sedang berjuang menggapai impian bersama Bundanya. Ia membiarkan kobaran api membawanya pada bunda.

“Muni,” teriak Dion menyaksikan si jago merah telah melalap rumah besar itu

“Kamu di mana?,”ia tertegun.

Kemana Muni, benarkah api telah membawanya menggapai bunda, atau ia tersesat di dunia lain. Entahlah.

Samsiarni, Lahir Di Koto Padang, Dharmasraya (Sumatera Barat) 09 September 1987. Menimbah Ilmu di Fakultas Sastra, Unand. Jurusan Sastra Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Just friend

kerinduan pada damai