Agama “kendaraan” politik

OLEH :SAMSIARNI

PADANG, SUMATERA BARAT

DESEMBER, 2008

PENDAHULUAN

Pertarungan di arena politk semakin memanas karena pemilu 2009 telah di depan mata. gelagat pengurus, anggota, dan simpatisan partai-partai politik dalam mencari dukungan menjelang Pemilu sudah terasa. Partai-partai politik, baik yang berbasis organisasi keagamaan maupun tidak, mulai menyiapkan diri dan menggalang dukungan sebanyak mungkin.

Fenomena yang terjadi, sebagian kandidat calon penguasa itu lahir dari tokoh-tokoh agama. Para kandidat menaungi beberapa komunitas dan perkumpulan yang berbasis agama. Fenomena ini tentu menyeret kita pada satu titik temu bahwa betapa dekatnya agama dengan politik.

Ketika kita membicarakan masalah agama dan politik, Ada dua dua ungkapan yang berkembang yaitu "agama untuk politik", atau "politik untuk agama". Agama untuk politik, menurut sementara orang, cenderung merendahkan posisi agama, karena politik sebagai tujuan, agama dijadikan alat. Sedangkan politik untuk agama, seolah tampak lebih luhur, karena mereka anggap, agama tetap luhur, sementara politiklah yang merupakan alat.

Kedua frase itu sebetulnya problematik, karena itu perlu dihindari dalam konteks berpolitik yang sehat. Kondisi yang menjadikan agama menjadi kemasan, sementara isinya kepentingan politik, akan membuat demokrasi berjalan tidak seimbang karena perbenturan beberapa kepentingan. Sedangkan politik untuk agama, meski seolah agama menjadi panglima atau tujuan, memiliki bahaya yang tidak sedikit terhadap kehidupan demokrasi yang sehat.

Kecendrungan pemamfaatan agama untuk kendaraan politik inilah yang seharusnya diwaspadai pada pelaksanaan pemilu 2009 nanti, jangan sampai kita tertipu dengan slogan-slogan agama yang ditawarkan partai politik. Menggunakan agama sebagai kendaraan politik tentu akan mendatang dampak yang negatif, misalnya hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kesahihan sebuah kepercayaan, karena merasa politik telah memanipulasi agama demi kepentingan politik.

Maka sangat penting memisahkan antara agama dan kekuasaan. Bahwa dua bidang ini ada dalam kutub yang berbeda walau masih berhubungan. Seorang agamawan tidak juga harus buta politik, tapi ia harus mampu menempatkan agama pada posisi yang tepat, tidak sebagai alat agar ia mendapat kekeuasaan.


PEMBAHASAN

Dunia politik adalah tempat bersemayam kekuasaan yang secara pasti mempengaruhi kehidupan orang banyak. Usaha untuk mengembalikan kekuasaan ke tempat yang sebenarnya hanya akan berhasil ketika agama hadir dengan energi pembebasan dan pemberdayaan, bukan justru melepaskan pesona-pesona ideologisasi. Bila tidak, maka yang tersedia adalah api, bukan demokrasi; yang tercipta adalah pembunuhan karakter dan ekspresi keberagamaan, bukan lagi kemerdekaan berkehendak

Substansi politik juga perlu dipertegas. Menurut filsof Perancis Claude Levi-Strauss, "words are instruments that people are free to adapt to any use, provided they make clear their intentions." Politik bisa dianggap bersih atau kotor. Jika politik dianggap bersih, mekanismenya harus bersih. Politik sebetulnya mulia, karena dengan berpolitik, manusia dapat membawa aspirasi orang banyak demi kepentingan orang banyak. Pendidikan, kesehatan, keselamatan di tempat umum, keamanan, dan sebagainya, tidak akan dapat diatur tanpa melalui proses politik.

Tinggal bagaimana politik itu dipahami dan dijalankan. Jika identitas agama menjadi bagian perjalanan politik, maka tampaknya substansi kehidupan politik tidak benar-benar tersentuh karena berbagai kelompok lebih sibuk dengan urusan kulit dan kemasan ketimbang program-program nyata bagi kemaslahatan umum

Agama sesuatu yang suci dan sangat memainkan peranan dalam perubahan sosial, pada kenyataannya agama juga dapat menjadi alat daripada kekuasaan untuk membangun kekuatan. Agama dijadikan alat pembenaran, penguat, pengesahan dan sebagainya sehingga kekuasaan mendapat pembenaran. Konsep seperti ini, sering dinamakan dengan politisasi agama. Dimana agama dipolitisasi atau dijadikan tumbal oleh kekuasaan .

Lalu ketika timbul ungkapan orang menggunakan agama untuk politik dan politik untuk agama. Maka polemik itu sendiri sedang bergulir, bahwa ada dua kepentingan yang saling mencoba melengkapi, walau dalam proses pelengkapannya akan ada bagian yang dinistakan, bagian yang hanya dijadikan sebagai sebuah alat pencapaian, sehingga menghilangkan kemurnian dari bagian itu.

Abdurrahman Wahid mengemukakan, perangkapan jabatan seperti itu dapat
pula menyebabkan pemaksaan kehendak untuk menerima segala kebijaksanaan pe-
merintah kepada kelompok agamanya. Ini menimbulkan ketidakserasian didalam
berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu yang paling baik menurut Gus Dur, membiarkan agama inde-
penden, jangan mencampurbaurkannya dengan kekuasaan. Ini penting dite-
gaskan, agar agama tidak dikorup. Bila agama hanya 'diawetkan' sebagai mesin-mesin kepentingan, maka wajah kekuasaan bakal dironai dengan perpecahan. Saling mengambinghitamkan, menohok kawan seiring dan aksi-aksi pahlawan kesiangan yang kita dengar dan kita baca setiap hari di berbagai media.

Fenomena tersebut mengindikasikan masih kentalnya mozaik kekuasaan dalam potret politik di negeri ini. Pembentukan Koalisi eksklusif-elitis Kebangsaan pada waktu pemilu mengalamatkan kecenderungan demikian. Dilihat dari sudut agama, magnetisme kekuasaan berperan kuat dalam menghabisi ikhtiar untuk 'mentransendensikan' mimbar agama dari residu mimbar politik di mana sering kali persahabatan dan pilihan-pilihan sikap dibangun di atas landasan kepentingan yang rendah.

Elite-elite agama kemudian menjadi kaki tangan kekuasaan untuk melegalkan keinginan daripada kekuasaan. Hasan Hanafi sehubungan dengan ini, mengulasnya dengan cermat dalam buku Human Al-Fikr Al-Watan di alihbahasa ke Indonesia menjadi Oposisi Pasca Tradisi menyebutkan :

“…negara menyatu dengan tradisi kekuasaan. Dengan tradisi itu negara menjadi kuat, mampu menguasai gerakan sosial dan dapat mengawasi persekongkolan terhadap tradisi oposisi untuk menahan rakyat untuk tidak memunculkan tradisi tersebut dan berlindung di dalamnya, dan mulai menghancurkan legalitas oposisi. Tokoh-tokoh agama mengkodifikasi tradisi negara dan negara memasukan tokoh-tokoh oposisi ke dalam penjara. Negara memberikan kepada tokoh agama yang pro tradisi dengan jebatan-jabatan keagamaan...kemudian menuduh tokoh-tokoh yang berseberangan dengan negara sebagai kelompok kafir, atheis, zindiq...”(Hanafi.2003:2)

Dalam konteks ini, nampak pula sebuah fenomena yang distorsi. Dimana agama juga dapat dipermainkan oleh negara atau kekuasaan untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan dalam konteks ini, memanfaatkan elite-elite agama sabegai agent komunikatif pada masyarakat. Justifikasi-jastifikasi yang diberikan oleh elite-elite agama tentu sangat berpotensi dalam mengamankan kekuasaan daripada kritikan, pembangkangan daripada masyarakat.

Akibatnya agama kekurangan makna bagi umatnya. Agama dikendalikan untuk kepentingan kekuasaan, semestinya agamalah yang mengendalikan kekuasaan tersebut. Fenomena-fenomena seperti ini sering terjadi dalam kekuasaan-kekuasaan, sehingga agama menjadi alat pembenaran kekuasaan.

Politisasi agama ini kadang-kadang membuat pemisahan-pemisahan ajaran agama dengan kegiatan manusia. Agama dianggap sebagai wilayah individu yang berjurang dengan ruang gerak sosial. Agama berjurang dengan negara, institusi-institusi negara dan lembaga-lembaga lainnya, sehingga wilayah agama betul-betul menjadi wilayah privat dan tidak menyentuh wilayah publik. Makanya fenomena-fenomena sosial yang kita lihat penuh dengan kegiatan-kegiatan yang kontroversi dengan ajaran agama.

Jadi, sangatlah beresiko mencampur-baurkan antara agama dan politik. Agama adalah masalah keyakinan dan politik adalah kekuasaan. Sangat bijak rasanya, jika para pemimpin yang akan datang dapat memberikan garis merah pemisahan antara kepentingan agama dan politik, agar kehidupan berjalan seimbang dan kemakmuran masyarakat akan dapat dicapai.


KESIMPULAN

Kekuatan agama sebagai identitas kolektif ini berperan mengubur bahasa-bahasa diskriminatif dalam relasi agama dan kekuasaan yang bertolak belakang dari demokrasi. Tidak hanya menempatkan agama sebagai bendera politik bersama dalam rangka memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial atau sebagai alternatif agenda politik yang dikehendaki rakyat, namun juga kita berharap lahirnya wadah gerakan yang merdeka dari distorsi sejarah guna menghimpun segenap energi masyarakat untuk mempersiapkan Indonesia-baru yang lebih adil, beradab, dan demokratis.

Oleh karena itu, dalam konteks politik kekuasaan, ketika agama menjadi alat atau tujuan, sama-sama memiliki risiko lebih besar daripada manfaat bagi kehidupan demokrasi. Agama sejatinya bukan alat bukan pula tujuan. Jika tidak ada ajaran bahwa penganut agama harus meninggikan nama agama itu, maka hal ini tidak berarti agama itu menjadi tujuan akhir. Tujuan akhir dari keberagamaan adalah berbuat baik di dunia ini dan mendapatkan rahmat Tuhan. Mencintai agama masing-masing adalah hak dan kewajiban penganut agama. Namun menjunjung tinggi agamanya sambil meremehkan agama-agama lain dengan cara-cara politik kekuasaan, membatasi keselamatan kelompok agama-politiknya saja sambil menutup keselamatan kelompok lain, membahayakan kehidupan masyarakat yang majemuk.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Mukti Ro'uf, “Mengikis Teologi Serba-Tuhan”. Jum'at, 17 Desember 2004

Donny Syofyan, “Agama dan Tantangan Kekuasaan”

http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2004121701340015

Kompas,“Gus Dur Pada Peringatan Hut Gandhi Jangan Campur Agama Dan Kekuasaan” Denpasar,

Muhamad Ali, 2004. “Kemasan Agama demi Kekuasaan



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etalase cinta Muni dan Ibu

Just friend

kerinduan pada damai